Cerpen
-Angan Terbaik Untuk Ummi-
"Pokoknya kamu harus mondok!"
"Tapi bi.."
"Keputusan tidak bisa diganggu gugat!" Abi berbalik membelakangiku, berjalan lurus tanpa mempedulikan aku yang masih sibuk dengan air mataku.
Namaku Nina. Aghnina Putri Wicaksana. Usia 15 tahun. Sebulan yang lalu aku telah resmi dinyatakan lulus dari jenjang sekolah menengah pertama. Jika semua orang memiliki cita-cita sedari mereka kecil, kurasa hanya aku yang tidak. Sejak kecil jika ada yang bertanya apa cita-citaku, aku selalu menjawab ingin menjadi ummi. Ya, aku begitu mengagumi sosok malaikatku yang satu itu.
Ummiku lihai sekali dalam dunia seni. Lebih spesifiknya dalam seni lukis. Ia juga pandai mendesain pakaian. Oleh karena itu ummi membuka usaha butik di samping rumah. Bakat lukis dan gambarnya mengalir pula dalam darahku. Sejak di bangku taman kanak-kanak, guruku selalu memilihku sebagai delegasi pada lomba-lomba menggambar dan mewarna. Belakangan ini bakat mendesain ummi juga mulai mendarah padaku.
Sayang sejuta sayang, ummi telah pamit kurang lebih setahun yang lalu. Meninggalkan aku, Abi, dan kakak perempuanku untuk berjumpa dengan Sang pencipta. Ummi terjangkit penyakit lambung akut akibat kecanduannya akan kopi. Tak jarang pula ummi lembur kerja hingga sering lupa makan. Bukan lagi "terlambat" makan, tetapi hingga "lupa" makan.
Semenjak kepergian ummi, Abi yang menjelma dan berperan menjadi kedua orang tuaku sekaligus. Tak pernah sekalipun Abi memarahiku, apalagi membentakku. Meski begitu, ia tetap berlaku tegas jika aku dan kakakku melakukan kesalahan. Namun kali ini ada yang sedikit mengganjal pada sikap Abi. Belakangan Abi selalu memaksaku untuk melanjutkan pendidikanku ke pesantren. Hingga sempat membentakku sekali. Ya, baru saja Abi membentakku. Menepis semua alasan dan tangisku untuk tetap kukuh memaksaku melanjutkan pendidikanku di pesantren. Entah apa gerangan yang merasuki tubuh Abi.
"Sudahlah Nin, turuti aja keinginan Abi. Selama ini kan Abi yang selalu nurutin keinginan kamu." Bujukan halus kakak perempuanku belum juga ampuh meredam amarahku.
"Mbak Dina enak ngomong gitu, karena mbak Dina nggak pernah disuruh mondok sama Abi!" Sanggahku tak terima. Masih bertahan dengan tangis sesenggukku.
"Bukannya mbak mau ikutan maksa. Mbak udah coba berkali-kali bilang ke Abi, tapi Abi masih aja kukuh sama pendiriannya." Mbak Dina membelai lembut kepalaku.
"Gini deh Nin, gimana kalo kamu buat perjanjian sama Abi. Kamu coba dulu masuk pesantren. Kita lihat kamu bisa bertahan berapa lama di sana. Kalo belum juga betah yaa Abi harus mindahkan kamu ke sekolah lain. Gimana, setuju?" Seperti biasa, otak encer Mbak Dina kembali bekerja. Tak heran jika mbak Dina menyandang predikat mahasiswi teladan di jurusannya.
Aku mengusap air mataku. Menatap lamat-lamat kedua mata indah kakak perempuanku itu. Setelah kupikir-pikir, ide Mbak Dina boleh juga dicoba. Aku mengangguk pelan, mengindahkan tawaran mbak Dina. Senyum manis kakakku kembali merekah.
"Tunggu di sini ya, biar mbak yang bilang ke Abi." Mbak Dina beranjak dari kasurku, menuju ruang kerja Abi.
***
"Nina, Abi jenguk seminggu sekali ya? Nanti Abi bawakan makanan yang banyak dan enak-enak deh kalau ke sini." Pamit Abi setelah sampai mengantarku di pondok pesantren. Sudah sekitar seminggu yang lalu aku telah berbaikan dengan Abi. Sejak sebelumnya aku terus menghindar untuk berbicara dengan Abi.
"Kamu baik-baik ya Nin, besok lusa mbak sudah harus balik lagi ke Bandung. Nanti kalo mbak pulang, mbak sempetin buat jengukin kamu ke sini deh." Mbak Dina ikut berpamitan.
Aku hanya mengangguk-angguk pasrah. Menahan mataku yang mulai terasa panas. Mbak Dina memelukku sejenak, kemudian melepaskannya. Aku mencium tangan Abi. Diikuti oleh kecupan hangat Abi yang mendarat di keningku. Abi dan Mbak Dina melangkah memasuki area parkiran. Berlalu meninggalkanku yang masih berdiri dengan air mata yang mulai menetes.
***
Sudah tiga hari ini demam tinggiku belum juga turun. Bahkan semakin meninggi. Pengurus pesantren akhirnya mengizinkanku untuk berobat di rumah ketika tahu bahwa hari ini waliku akan datang menjenguk.
Di ujung taman aku membiarkan teman-temanku kembali. Mengambil tasku di pundak salah satu dari mereka bertiga. Setelah aku mengucap terima kasih, mereka berbalik untuk kembali. Aku semakin mempercepat gerak langkahku kala postur tubuh Abi tertangkap oleh kedua indra penglihatanku. Abi terduduk di bawah pohon rindang dengan gawai yang melekat pada genggamannya.
Tubuh kecilku dengan sigap merengkuh tubuh Abi yang besarnya dua kali lipat dari tubuhku. Hangat sekali rasanya. Perlahan butiran kristal itu mengalir hangat dari ujung mataku. Mendarat tepat di pundak Abi. Abi sontak membalikkan badannya. Meletakkan gawai yang sejak tadi melekat di genggamannya. Terkejut melihat wajahku yang pucat pasi, Abi pun membiarkanku terduduk di sebelahnya.
"Kok wajah kamu pucat sekali?" Tanya Abi khawatir, menyentuh lembut dahi dan pipiku.
"Astaghfirullah nak, badan kamu panas sekali! Abi bawa kamu pulang ya, kita berobat ke dokter. Biar Abi yang izinkan ke pengurus." Kata Abi terkejut.
"Nggak usah bi. Nina sudah izin duluan tadi." Sergahku sembari meletakkan tas yang kusandang ke atas meja.
"Ya sudah kalau gitu, kita langsung ke dokter terus lanjut pulang ya?" Abi meraih tas ranselku. Lalu membopongku menuju mobil Abi yang terparkir rapi di balik taman.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung pergi menuju kamarku dengan dibantu Abi. Setelah itu, Abi keluar menuju dapur dan masuk lagi ke kamarku dengan membawa nampan berisi bubur hangat, segelas besar air putih, serta tak luput obat-obatan yang kudapat dari dokter ketika berobat tadi.
"Nina makan dulu, minum obat, terus langsung istirahat ya. Ingat tadi dokter bilang apa? Kamu sakit karena kurang makan. Nggak seimbang sama tenaga yang sudah kamu keluarkan." Abi menasihati sembari menyuapiku sesendok demi sesendok, hingga bubur itu habis tak bersisa. Aneh ya, di pondok sesuap nasi pun aku enggan memakannya. Giliran di rumah, seporsi bubur saja bisa ludes dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Abi membantuku meminum obat. Kemudian membereskan nampan itu kembali seperti semula. Tangan Abi sibuk membantuku mengangkat selimut untuk menutupi setengah tubuhku. Sejenak kemudian ia berlalu sambil membawa nampan itu.
"Abi..." Langkah Abi terhenti mendengar pekikan pelan suaraku.
"Iya, ada apa Nina?" Abi kembali. Terduduk kembali di atas ranjangku. Masih membawa nampan berisi sisa makanan, minuman, dan obat-obatanku tadi.
"Nina nggak mau balik ke pondok lagi bi... Nina nggak betah, di sana terlalu ngekang. Semua serba dibatasi waktu. Nina benci terlalu dikekang." Sahutku tiba-tiba di depan Abi.
"Satu lagi, Nina nggak kuat sama hafalan di sana. Yang tiap harinya wajib setor satu halaman penuh ayat Al-Qur'an tanpa bisa dikurangi. Nina susah menghafal bi. Nina nggak kuat!" Air mataku kembali terjatuh. Mengalir hangat dari pelupuk mataku. Abi terdiam.
"Justru itu alasan kenapa Abi kukuh memaksa kamu untuk mondok, Nina. Supaya kamu bisa menjadi orang yang menghargai waktu. Melakukan semuanya dengan kadar waktu yang telah ditentukan. Dan Abi ingin kamu menjadi penghafal Al-Qur'an." Abi menaruh kembali nampan itu di atas meja yang terletak tepat di samping kasurku.
"Tapi Nina susah menghafal bi! Menghafal Al-Qur'an itu susah! Abi nggak pernah ngerasain kan gimana susahnya?" Balasku masih dengan air mata yang mengalir. Abi mengembuskan napas berat. Berusaha menata emosinya.
"Pokoknya Nina mau berhenti, titik!" Paksaku sedikit membentak.
"Tapi ini perintah ummi, Nina! Kamu nggak ngerti!" Abi menjawab dengan sedikit membentak juga. Mengelus-elus dadanya. Kembali menarik napas dan membuangnya perlahan.
"Maaf, Abi nggak bermaksud bentak. Tapi ini semua atas dasar keinginan ummi. Ummi mau putri kecilnya kelak jadi penghafal Quran. Supaya di akhirat nanti putri kecilnya bisa mendapat syafaat dan menyelamatkan orang tuanya. Ummi ingin dipakaikan jubah dan mahkota dari cahaya. Ummi ingin.." Abi menunduk, tak kuasa membendung air matanya. Satu bulir tetesan air hangat mengalir dari pelupuk matanya. Aku langsung memeluk Abi. Melebur bersama tetesan tangis Abi yang sempat tertahan. Seumur hidupku, ini kali kedua aku melihat Abi menangis di hadapanku.
"Maafin Nina, bi. Nina nggak tau. Nina nggak tau kalo itu keinginan ummi. Sampai-sampai Nina yang membentak-bentak Abi. Nina nggak tau kalo Abi sama ummi sebegitu pengennya Nina jadi penghafal Al-Qur'an." Aku menangis tersedu-sedu mendengar alasan Abi. Teringat akan raut wajah teduh ummi yang kini hanya bisa kupandang melalui foto dan bayang-bayang wajahnya. Abi cepat-cepat menyeka air matanya. Melepas pelukanku, lantas mengambil lembut tanganku.
"Sejujurnya Abi juga nggak tega lihat kamu terus-menerus sedih karena Abi paksa masuk pesantren. Tapi ini untuk kebaikan kamu juga, Nina. Seorang penghafal Quran itu nggak cuma dapat jaminan surga untuk dirinya sendiri, tapi ia juga bisa mengajak kedua orang tuanya untuk ikut bersamanya tinggal di surga. Seorang penghafal al-Quran itu sudah mendapat jaminan hidup di dunia dan juga di akhirat." Wajah teduh dan perkataan Abi berhasil meluluhkan egoku. Entah mengapa, begitu mendengar penjelasan Abi yang sebenarnya hatiku yang semula bak diselimuti dinginnya es, kini meleleh dan kembali menjadi hangat. Amarahku akan paksaan Abi untuk masuk pesantren seketika hilang. Hanyut bersama tangisku yang terus meluruh.
"Iya bi, sekarang Nina paham. Nina mau. InsyaAllah Nina siap jadi penghafal Al-Qur'an. Sesulit apapun itu, Nina akan coba, Nina akan paksa untuk bertahan. Demi Abi dan ummi." Aku menyeka kedua ujung mataku. Menghilangkan air mata yang belakangan ini selalu merundungi wajahku.
Di pagi menjelang siang itu kediaman kami diselimuti rasa haru. Haru berbalut sendu. Setelah mendengar keputusanku, Abi merasa lega. Senyum tulusnya kembali merekah. Aku pun kembali beristirahat.
Kini setelah berpikir matang-matang, aku memutuskan untuk bercita-cita menjadi seorang Hafidzah. Seorang wanita penghafal Al-Qur'an, kitab yang paling mulia di seluruh jagat raya. Berkat Abi dan Ummi, kini aku berhasil menemukan cita-cita terbaikku. Menjadi penghafal al-Qur’an. Sambil terus mengasah bakatku dalam bidang desain, aku juga memutuskan untuk meneruskan usaha ummi yang sempat tertunda suatu hari nanti.
***
"Abi tunggu di mobil ya, ada klien Abi yang menelepon." Pamit Abi padaku dan mbak Dina. Kami berdua mengangguk. Tiba saatnya aku dan mbak Dina mencurahkan isi hati kami, di depan pusara Ummi.
"Ummi, piala ini Nina persembahkan buat Ummi. Tau nggak ini piala apa? Iya, ini piala penghargaan atas kemampuan Nina menghafal Al-Qur'an mi. Nina dinyatakan lulus dengan predikat penghafal Al-Qur'an terbaik dalam waktu paling singkat mi. Ini semua berkat Ummi." Wajahku mulai memanas, diikuti oleh butir" cairan hangat yang mengalir di pipiku. Mbak Dina merangkulku. Mengusap pelan pundakku.
"Karena Ummi dan Abi, Nina sanggup melawan sulitnya menghafal Al-Qur'an. Karena Ummi dan Abi juga, Nina sanggup mempertahankan diri di pondok pesantren. Berkat Ummi dan Abi, menghafal Al-Qur'an jadi terasa lebih mudah. Berkat Ummi dan Abi juga, tinggal di pondok pesantren jadi lebih menyenangkan. Terima kasih mi, telah menjadi motivasi Nina dalam meraih semua ini. Terima kasih karena telah membantu Nina menemukan cita-cita terbaik Nina. Selesai mengabdi nanti, insyaAllah Nina akan lanjutkan karier Ummi yang terhenti. Nina akan menjadi desainer butik Ummi yang Hafidzah." Sahutku mantap dengan satu tangan yang masih mencengkeram erat batu nisan putih itu. Mbak Dina mengajakku untuk segera beranjak karena Abi sudah sedari tadi menunggu. Aku mengusap kedua mataku yang berair. Piala fiberglass itu masih erat tergenggam di tangan kiriku. Aku pun beranjak pergi. Meninggalkan sejumlah cerita dan bekas tangis bahagiaku di atas pusara Ummi. Diikuti mbak Dina yang berjalan di sisi kanan sambil merangkulku erat.
TAMAT
-sovywsfr
-sovywsfr
Pict by: @xolovelyayana

Komentar
Posting Komentar