Cerpen
"Seorang Pesimis"
Senyumku mengembang. Menatap layar pada gawai yang melekat pada genggamanku. Senang sekali bisa berada pada posisi ini. Zack benar. Dugaannya tak pernah meleset. Bahwa kelak ia akan melihat namaku tertera pada laman-laman di internet. Andai kamu ada di sini Zack, Aku akan menjadikanmu sebagai bagian dari separuh perjalananku mengelilingi nusantara. Menjadi bagian dari potret dan kisah inspiratif yang akan kubagikan di laman blog kesayanganku ini.
*
Aku seorang wanita belia. Dikata remaja sudah lewat, dikata dewasa juga belum kuat. Aku berada di pertengahan masa, mungkin? Ketika raga mulai mencari jati dirinya. Ketika karsa mulai merajut angan-angannya.
Mereka bilang aku sosok yang ceria. Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-sedikit bercanda. Bak mengisyaratkan bahwa hidupku selalu baik-baik saja. Tanpa mereka tahu, bahwa aku juga sama seperti mereka. Dirundung khawatir dan masalah dalam setiap catatannya.
Mereka bilang sifatku serba positif. Baik hati, ceria, murah senyum, pendengar yang baik, penyabar, dan tak pernah sekalipun marah. Ya, itu di mata mereka. Ada satu sifat yang luput mereka sebutkan. Sifat yang hanya aku seorang yang mengetahuinya. Sifat pesimis.
Pesimis, sikap bagi orang-orang yang mudah putus asa. Dan namaku termasuk pada daftar nama di dalamnya. Aku tipikal orang yang pesimis. Belum apa-apa sudah pesimis duluan. Entah mengapa, takut dan sulit sekali untuk berpikiran optimis. Takut meleset lebih tepatnya. Perasaan khawatir selalu merundungi segenap jiwaku. Hal inilah yang mengantarkanku pada arus jalan mimpiku. Aku terlalu takut untuk bermimpi tinggi-tinggi. Hingga akhirnya aku hanya pasrah dan memilih untuk ikut terhanyut dalam arus yang entah kapan akan membawaku pada muara.
Aku tau itu hal yang salah. Tak seharusnya di era milenial ini aku hanya menjadi pemuda biasa yang tak berguna bagi nusa dan bangsa. Jangankan punya mimpi, punya bakat saja aku masih diambang ketidaktahuan. Padahal di usia yang belia ini mimpi harus dirangkai setinggi-tingginya. Supaya pencapaian bisa fokus dikejar sekencang-kencangnya.
"Kamu istimewa dengan caramu sendiri." Katanya suatu hari. Entah mengapa secara spontan, serentet kalimat itu sukses meluluhlantahkan sang ego. Betapa pun sesal dan sesak yang menghardik, semua lenyap kala kalimat itu terbisik. Lelaki jangkung itu menatapku tajam. Seolah ingin meredam sedihku dengan cara sederhananya. Sesederhana ia ulurkan tangannya untuk memapahku berdiri dari keburamanku akan mimpiku. Ia benar. Setiap orang dilahirkan dengan bakat dan istimewanya masing-masing. Hanya perlu dipermak sedikit supaya bakat itu bisa berkilau, lantas memancar.
Namanya Zacky Aryasatya. Kawan sepermainanku di masa kecil yang dipertemukan kembali denganku di bangku kuliah. Kiranya sudah 6 tahun aku dan Zack tak pernah bertemu dan berkirim kabar. Dan di sinilah awal kisahku dengannya kembali dimulai setelah 6 tahun berlalu.
"Semua pemimpi pasti pernah merasakan pesimis. Tapi kemudian ia sadar, bahwa pesimis itu cuma jadi hambatan. Hambatan untuk mereka menggapai mimpinya." Sahut lelaki itu dengan santainya. Aku hanya diam, tertunduk lesu.
"Kamu tau nggak, kamu itu fotografer wanita paling handal yang pernah aku temui. Hasil jepretanmu selalu bernilai artistik. Sederhana tapi punya makna." Zack berusaha meyakinkan. Aku tau, belakangan ini ia suka mengunjungi laman Instagramku. Instagram yang isinya hanya seputar potret perjalananku dari tempat ke tempat.
"Itu kan cuma hobi." Kataku menyergah, terkesan merendah. Masih dengan raut wajah tidak percaya diri yang melekat.
"Justru bakat itu bisa berawal dari hobi. Kamu hobi fotografi? Ya silakan dikembangkan. Pandai-pandai mengatur angle, aperture, isolation, dan bagian-bagian penting lainnya. Bakat itu harus dicari, ditekuni, lalu dibagi. Supaya ada hasil dan manfaatnya." Lelaki itu masih berbicara dengan santainya. Bak seorang konsultan psikolog ternama. Secangkir Americano baru saja mendarat di hadapannya. Ia meraih cangkir itu lalu menyeruputnya perlahan.
"Aku rasa kamu butuh waktu. Kamu butuh waktu untuk temukan secercah sinar optimis itu dengan caramu sendiri. Optimis itu hanya bisa ditemukan dalam diri sendiri. Aku yakin suatu hari nanti, aku akan lihat namamu di laman-laman internet sebagai inspirasi orang-orang."
"Ah kamu selalu berlebihan. Mana mungkin.." Zack memotong bicaraku.
"Di dunia ini ada banyak sekali kemungkinan, Naura. Kamu harus sadari itu. Jangan mau diperbudak oleh pikiran-pikiran negatif kamu. Percaya deh sama aku. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau berusaha." Ia menatap tepat ke arah mataku. Lekat sekali. Seolah-olah ia sedang menyugesti seorang pasien dengan gangguan psikologisnya.
Entah mengapa, kini aku menaruh rasa percaya penuh pada kata-katanya. Bahwa ada banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi di dunia ini. Bahwa pesimis itu memang harus dilenyapkan untuk temukan secercah sinar optimis. Dan bahwa setiap orang dilahirkan dengan pernak-pernik istimewanya masing-masing. Tak salah ia masuk jurusan psikologi. Pandai sekali menyugesti seseorang.
Aku bertekad, akan menepis semua pikiran-pikiran negatif yang selalu bergelut dalam otakku. Aku akan temukan dan tekuni bakat yang ada di dalam diriku. Syukur sekali bisa bertemu dengannya. Berkatnya, malam ini pikiranku berhasil terbuka lebar. Terasuk omongan-omongan dari calon psikolog ternama yang sebentar lagi akan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi S2nya.
"Terima kasih Zack, atas semua pencerahan-pencerahan ini." Senyumku tersungging, balas menatap matanya. Alunan suara musik klasik turut menenangkan hatiku yang tadinya sempat gelisah. Melodinya menari-nari di atas alam bawah sadarku. Seperti ucapan mantra, alunan yang begitu tenang itu seakan-akan menghipnotis siapapun yang sedang gelisah hatinya.
Zack membalasku dengan senyum tulusnya. Menutup kisah pada malam ini dengan penuh tenang.

Komentar
Posting Komentar